Sabtu, 12 Februari 2011

Tri Purwani Dewi

BUNTU


Hening. Hari ini, esok, dan seterusnya. Aku ingin ketenangan menyelimuti setiap sudut ruang ini. Hening, tetap tidak berisik akan pengaruh kegaduhan suara yang dari awal aku masuk ruang ini, selalu menggema. Kian menggema, makin keras, meraung-raung memecahkan gendang telinga. Ahh.
Tapi kurasa hari ini sedikit berbeda. Hari ini begitu hening. Tenang sekali. Dan aku menikmatinya.
Oh tidak! Mengapa begini? Mengapa keheningan ini begitu mudah berubah? Menjadi sesuatu yang amat sangat, tidak kunikmati. Menjadi, menjadi kebisuan mencekam yang mampu membuat dadamu berdesir, seperti aku. Pelan-pelan aku jadi ngeri sendiri. Bulu kudukku mulai berdiri. Satu persatu kebisuan pekat itu memecah membentuk suara langkah kaki. Satu persatu pula, penghuni ruang itu pergi, melangkahkan kaki-kaki mereka menuju beranda, menuju ke gerbang yang senantiasa menganga menunggu kedatangan mereka.
Mau tak mau, aku pun mengikuti langkah mereka. Mungkin sebagai simbol solidaritas. Ah entahlah. Tapi sesungguhnya bagiku, aku tidak ingin terperangkap sendirian di ruang itu. Seandainya kamu ada di posisiku, aku rasa kamu akan melakukan hal yang sama. Berjalan, mengikuti manusia-manusia yang tadinya seruangan denganku. Sebenarnya aku masih belum mengerti, mengapa mereka beranjak dari ruang itu. Padahal sebelumnya justru mereka yang selalu bercengkrama diiringi canda tawa di ruang itu. Apakah, apakah mereka juga merasakan hal yang sama denganku?
Ya, kengerian itu! Kengerian itu seolah menyelimuti seluruh ruang itu dan bekas penghuninya. Layaknya aku. Buktinya, aku masih tetap dalam kengerian itu. Hingga aku tak mampu berucap sama seperti mereka. Membisu.
Sepertinya ruang itu berubah. Seperti ada yang hilang. Dan kurasa memang ada yang hilang. Sementara kami, bekas penghuni ruang itu masih tetap berjalan dalam kebisuan. Hanya suara langkah kaki yang terdengar oleh telinga telanjang manusia. Oh ada lagi! Tetapi kurasa hanya anjing yang mampu mendengar hal itu: deru nafas yang kian memburu! Atau jangan-jangan mereka sendiri mampu mendengarnya. Seperti aku, seperti nafasku, seperti keringatku yang kian menetes membanjiri tengkuk dan pelipisku. Aku ngeri, takut, merinding, bingung, bisu, diam, lelah, penat, pengap, gerah, ahhhh!!!
Aku tak mampu lagi bertahan dalam kebisuan seperti ini. Aku bisa gila! Masa bodoh! Ku sudah tak peduli lagi. Aku berteriak, berteriak, aaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh..........!!! Memutus urat tenggorokanku. Sampai-sampai teriakanku itu membuat semua mata memandang tajam ke arahku. Menusuk tepat di jantungku. Aku kaku, tak mampu bergerak, masih dalam kebimbangan yang saling beradu di relungku. Sedangkan mereka, masih saja menatapku demikian.
Aku berpikir, tetapi pikiranku kacau. Aku ingin bersuara, tetapi suaraku habis. Bukankah tadi aku sudah berkata jika urat tenggorokanku putus?
Jadi ku putuskan hanya akan berkomunikasi dengan mata dan hatiku. Dengan mata hatiku, pula,
mereka masih menatapku tajam. Wah, sesungguhnya aku tidak percaya akan hal ini. Tidakkah mereka mengerti? Yang ku inginkan hanyalah ketenangan. Bukan kebisuan. Ketenangan bagi setiap nurani di sekelilingku. Ketenangan bagi setiap bekas penghuni ruang hatiku yang kini pergi dalam kebisuan. Ketenangan dalam ruang hatiku sehingga mereka kembali lagi dan betah tinggal di sana. Tidakkah mereka mengerti?
Ku rasa tidak! Mereka masih saja menatapku tajam, semakin tajam, menusuk jantung, bahkan ke ruang hatiku. Mereka seperti makhluk-makhluk yang ingin membunuhku dengan tatapan mereka. Oh, aku sakit! Dan ku yakin mereka bukan manusia lagi. Mereka seperti zombie, leak, genderuwo, iblis, atau drakula yang kapan saja siap mencekik leher dan menghisap darahku. Aku ngeri, takut, merinding, bingung, bisu, diam, lelah, penat, pengap, gerah, ahhh!
Ahkirnya aku bisa menggerakkan satu persatu bagian inderaku. Kucoba gerakkan lagi, terus dan terus, hingga aku mampu berbalik, berjalan, lebih cepat, lebih cepat, lari, kabuuuuurrrrrrr!!!

Ya Tuhan, aku dikejar! Aku dikejar para zombie, leak, genderuwo, iblis, drakula, atau apalah itu namanya. Dan aku tak mau ikut-ikutan menjadi zombie, leak, genderuwo, iblis, drakula, atau siapalah itu namanya. Aku terus berlari, menyusuri jejak-jejak ibukota yang entah bagaimana lagi aku mendeskripsikannya. Menyusuri jalanan aspal, tanah, kerikil, batu, air, becek. Menabrak ternak, unggas, tanaman, tong sampah, sampah, sesuatu. Hingga yang terakhir, aku menabrak tembok! Jalan buntu! Dan, ah aku terjatuh, terjerembab, tetapi tidak berani menoleh ke belakang. Apa yang harus ku lakukan? Aku mohon agar mereka berhenti mengejarku dan membebaskanku dari bayang-bayang mereka. Tetapi aku tak bisa. Akhirnya aku diam. Mencoba mendengarkan apa saja di sekelilingku. Lama.
Tapi mengapa sepi? Aku penasaran. Ku tolehkan kepalaku kebelakang, dan kemana mereka? Kemana para zombie, leak, genderuwo, iblis, drakula, atau bagaimanalah itu namanya? Kenapa menghilang? Aku masih terpaku, tak habis pikir. Mungkinkah mereka tadi mendengar jeritan hatiku? Entahlah. Aku masi terpaku, menatap ruang kosong yang… yang buntu. Seperti pikiranku. Lama sekali.
“Shhh!”
Apa itu?
“Shhh!”
Aku berbalik.
“Siapa? Siapa Kau?”
“Shhh!”
Aku berbalik lagi.
“Keluar!” Bentakku.
Diam.
Aku menoleh ke segala arah.
“Keluar! Pengecut!”
Diam.
Lima menit, satu jam, sepuluh jam, dua puluh empat jam.
Mataku masih terbelalak, mengawasi sekelilingku.
Tapi tetap diam.
Lama sekali.
Baru ku sadari,
Ternyata hanya bayanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar